Dalam tulisan ini, saya akan me-repost kembali tulisan di blog lama terkait pengalaman saya menggunakan Kereta Api Bima di tahun 2015 lalu. Di blog saya yang lama, saya sudah membuat laporan perjalanan (trip report) dengan tema serupa. Tulisan ini sengaja saya repost kembali untuk mengetahui seperti apa KA Bima pada tahun tersebut dan tidak menggambarkan kondisi KA Bima saat ini.
Sekilas Tentang Kereta Api Bima
Kereta Api (KA) Bima merupakan salah satu layanan kereta api jarak jauh dengan kelas eksekutif. KA Bima merupakan salah satu kereta api bersejarah dan legendaris yang sudah ada sejak tahun 1960-an. Pada masanya, KA Bima juga pernah menyandang status sebagai salah satu kereta termewah di Indonesia. Dahulu KA Bima menyediakan layanan kereta tidur (sleeper coach) layaknya kereta jarak jauh di Eropa. Namun layanan tersebut kemudian dihapuskan. Nama Bima sendiri pada nama kereta ini merupakan akronim atau kependekan dari Biru Malam.
Rute KA Bima melayani berbagai kota-kota besar seperti Jakarta, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya hingga Malang melalui jalur selatan. Dahulu rute KA Bima berakhir hanya sampai stasiun Surabaya Gubeng. Kemudian sempat dilakukan perpanjangan rute KA Bima hingga ke Malang. Dan kemudian rutenya kembali diperpendek ke rute aslinya hingga stasiun Surabaya Gubeng seperti saat ini.
Laporan Perjalanan (Trip Report) KA Bima Tahun 2015
Pemesanan Tiket Kereta Api Bima
Di bulan Januari 2015 yang lalu, saya berkesempatan untuk pulang kampung ke Madiun, Jawa Timur. Saat itu saya masih kuliah sehingga saya masih bisa pulang kampung di awal tahun, tepatnya saat liburan semester. Pada kesempatan tersebut, saya melakukan pemesanan tiket untuk relasi Jakarta Gambir ke Madiun dan sebaliknya (PP). Untuk pertama kalinya, saya mencoba untuk memesan tiket kereta api ini secara online via situs resmi PT Kereta Api Indonesia dua minggu sebelum tanggal pemberangkatan. Saat itu tidak terdapat permasalahan saat melakukan pemesanan tiket.
Adapun saya memesan dengan harga yang termurah dari semua kelas yang ada yaitu Rp 445.000 untuk pemberangkatan dari stasiun Gambir ke Madiun dan Rp 380.000 dari stasiun Madiun ke Gambir.
Rangkaian Kereta KA Bima di Tahun 2015
KA Bima tiba di stasiun Gambir pada pukul 16.00 dengan menggunakan lokomotif berjenis CC 206 yang mulai beroperasi sejak tahun 2013. Berdasarkan pada tiket yang sudah saya pesan, saya mendapatkan posisi kereta di tengah rangkaian yaitu kereta atau gerbong dengan nomor urut lima (5). Adapun kereta dengan nomor urut 5 tersebut memiliki nomor seri K1 0 95 13. Berdasarkan nomor seri keretanya, diduga kereta tersebut pernah digunakan sebagai KA Argo Bromo di akhir tahun 1990-an. Kereta atau gerbong yang dioperasikan sejak tahun 1995 itu dikenal dengan kenyamanannya dan guncangan yang relatif lebih minim. Gerbong tersebut menggunakan jendela berkaca lebar, tidak seperti KA Gajayana yang gerbongnya saat itu menggunakan kaca bermodel seperti pesawat.
Dalam satu rangkaian kereta api Bima ini, terdiri dari beberapa kereta penumpang, satu kereta makan, satu kereta pembangkit dan dalam waktu tertentu juga dapat disertai dengan satu kereta bagasi untuk mengangkut barang atau parsel.
Di Januari 2015 lalu, grafik perjalanan KA atau Gapeka yang digunakan adalah Gapeka 2014. Berdasarkan Gapeka 2014 tersebut, untuk KA Bima keberangkatan dari stasiun Gambir pada pukul 16:20.
Eksterior Kereta pada KA Bima Tahun 2015
Sayangnya saat itu saya tidak sempat mendokumentasikan eksterior gerbong dari KA Bima. Jadi saya menggunakan gambar eksterior KA Argo Parahyangan sebagai gambaran. Namun kurang lebih livery yang digunakan KA Bima sama persis dengan gambar tersebut. Yaitu dengan menggunakan livery warna abu-abu lumpur yang menjadi livery khas kereta kelas eksekutif saat itu.
Interior Kereta KA Bima Tahun 2015
Gambar di atas merupakan interior dari gerbong KA Bima dengan nomor seri K1 0 95 13. Kursi masih menggunakan bahan dari beludru berwarna biru. Menurut saya, kursi berbahan beludru seperti ini lebih nyaman untuk perjalanan yang membutuhkan waktu lama. Sayangnya saat ini KA Bima menggunakan kursi dengan bahan kulit yang lebih licin.
Selain itu, kursi tersebut juga dilengkapi dengan sarung kursi bermotifkan batik dengan gambar Monas dan ondel-ondel yang menjadi ciri khas Jakarta. KA Bima saat itu dikelola oleh DAOP 1 Jakarta.
Penutup jendela yang digunakan sudah berganti dari tirai gorden biasa menjadi tirai roller blind.
Kekurangan dari gerbong tersebut adalah tidak adanya lampu tidur. Lampu gerbong hanya terletak di tengah bagian gerbong dan lampu tersebut akan dinyalakan terus sepanjang perjalanan terutama saat malam hari.
Tidak ada yang spesial di bagian bordes gerbong ini. Pintu untuk masuk dan keluar gerbong masih menggunakan pintu manual. Saat itu saya tidak sempat mendokumentasikan bagian toilet dari gerbong ini.
Sepanjang Perjalanan di Kereta
Saya menemukan hal-hal menarik sepanjang perjalanan yang sempat saya catat. Dari kawasan Cipinang hingga Bekasi, saat itu terdapat pengerjaan proyek double-double track (DDT) antara Manggarai-Bekasi. Namun belum seluruh petak tanah di kawasan tersebut sudah dibebaskan. Selepas stasiun Bekasi hingga stasiun Cikarang, sudah terpasang tiang-tiang pancang sebagai bagian dari proyek elektrifikasi jalur kereta antara Bekasi-Cikarang.
Mendekati stasiun Cikaum, terdapat berbagai tumpukan KRL yang sudah tidak digunakan kembali karena kondisinya yang sudah rusak dan tidak layak pakai. KRL tersebut sudah menjadi rongsokan. Jenis KRL tersebut beberapa diantaranya yaitu Eks KRL Tokyo Metro, Tokyu dan lain-lain.
Suhu ruangan dalam kereta termasuk cukup dingin yaitu sekitar 21 Celcius. Saat malam hari, suhunya bisa lebih dingin dari itu sehingga disarankan untuk menggunakan jaket ataupun selimut.
Kursi dimana saya duduk adalah kursi tunggal/single. Sayangnya kursi single ini tidak memiliki meja lipat untuk menaruh piring makanan agar tidak tumpah. Tidak seperti kursi lainnya yang masih terdapat meja lipat.
Layanan Restorasi
Sepanjang perjalanan, saya menyempatkan untuk memesan makanan yang tersedia di gerbong restorasi. Ada beberapa jenis makanan dan minuman yang disediakan. Menu yang saya pesan yaitu Nasi Goreng Reska. Seperti biasa, menu nasi goreng merupakan menu andalan untuk bepergian jauh dengan kereta api. Menu nasi goreng tersebut terdiri dari nasi goreng, paha ayam goreng, telur ceplok, kerupuk udang dan sayuran.
Saat itu makanan disediakan dalam piring, bukan dalam bentuk kotak yang bisa dihangatkan di microwave. Harganya sekitar Rp 20.000-25.000, termasuk mahal jika dibandingkan dengan nasi goreng pada umumnya.
Akan tetapi nasi goreng yang saya makan saat itu terasa hambar, kurang terasa bumbunya. Padahal biasanya nasi goreng ini rasanya enak sekali dan terasa bumbunya.
Ketepatan Waktu
KA Bima yang saya tumpangi saat itu berangkat dari stasiun Gambir tepat pukul 16:20. Namun sempat berhenti sesaat di Cikini beberapa menit, menunggu sinyal aman masuk stasiun Manggarai. Karena saat sore hari frekuensi perjalanan KRL meningkat, tepat saat jam pulang kerja.
KA Bima tiba di stasiun Cirebon pada pukul 19:22. Di stasiun ini, KA Bima berhenti cukup lama sekitar lebih dari lima menit karena dilakukan pengisian tangki air untuk toilet.
KA Bima baru tiba di Purwokerto pada pukul 21:22. Saat itu proyek double-track jalur selatan belum seluruhnya rampung. Sehingga terdapat beberapa titik lokasi dimana kereta harus berjalan lambat dengan kecepatan yang terbatas antara Cirebon hingga Purwokerto. Selain itu, masih terdapat banyak jalur tunggal (single track) di jalur selatan yang mengharuskan kereta dari arah tertentu mengalah dengan kereta dari arah lain. Hal tersebut mengakibatkan keterlambatan perjalanan kereta api di jalur selatan.
Berikut adalah data waktu (timestamp) yang sempat saya catat terkait kedatangan kereta di beberapa stasiun:
Nama Stasiun | Jam Kedatangan |
Gambir | 16:20 |
Manggarai | 16.32 |
Jatinegara | 16.36 |
Bekasi | 16:51 |
Cikarang | 17:05 |
Karawang | 17:21 |
Cikampek | 17:40 |
Cirebon | 19:22 |
Purwokerto | 21:22 |
Tugu | 00:25 |
Madiun | 02:33 |
Jika dibandingkan dengan waktu tiba yang tertera pada tiket yaitu pukul 01:53, kenyataannya KA Bima tersebut terlambat 40 menit untuk tiba di stasiun Madiun.
Penutup
Itulah pengalaman saya saat naik KA Bima di tahun 2015 lalu. Sekitar tahun 2016, KA Bima sudah tidak menggunakan kereta/gerbong tersebut. KA Bima sudah menggunakan gerbong baru buatan INKA keluaran tahun 2016. Adapun gerbong yang digunakan KA Bima tersebut sudah dilempar ke KA lain.
Sekarang saya lebih sering naik KA Bangunkarta dibandingkan KA Bima. Bukan karena KA Bima saat ini sudah tidak sebagus dahulu, namun lebih karena KA Bangunkarta memiliki durasi perjalanan yang lebih singkat dan terkait waktu kedatangan di Jakarta yang lebih cepat. Saat ini KA Bangunkarta tiba di Jakarta lebih dahulu dibandingkan dengan KA Bima dari Surabaya.
Wah masih pake rangkaian lama ya? Kalau sya setahun kemudian sudah pake rangkaian K1 2016..
Waktu tahun 2015 KA Bima memang masih pakai rangkaian yang lama. Terakhir kali naik KA Bima sekitar Januari 2017 itu sudah pakai rangkaian K1 baru keluaran INKA batch tahun 2016